Aku hidup namun tak bernafas.
Dunia mengatakan “Aku mampu” namun kehidupanku tak mengatakan demikian. Sewujud dengan irama kehadiranku di dunia tak mampu menaruh namaku di hati mereka. Entah apa atau karena apa mereka tak pernah memberikan kebutuhan bathinku. Tersiksa kala bicarakan semua ini namun apa daya aku hanyalah seorang laki-laki kecil yang belum mengerti apapun tentang keadaanku sekarang ini.
Aku belum cukup umur untuk merontak, hanya dapat merenung dengan segudang pertanyaan yang penuh jawaban misteri. Di temani segala permainan kecil yang menghiasi hari-hariku. Aku masih mampu hidup dan berdiri di hadapan mereka tanpa mereka tau sedalam apa luka yang telah mereka gali di hatiku.
Aku belum cukup umur untuk merontak, hanya dapat merenung dengan segudang pertanyaan yang penuh jawaban misteri. Di temani segala permainan kecil yang menghiasi hari-hariku. Aku masih mampu hidup dan berdiri di hadapan mereka tanpa mereka tau sedalam apa luka yang telah mereka gali di hatiku.
Inginku duduk di samping mereka. Merasakan kehangatan lebih dan memahami apa artinya sebuah keluarga. Mungkin itu nihil bagiku. Aku hanya menjadi penonton di antara puluhan temanku yang hidup dengan kemesraan dan kehangatan keluarga. Di cium peluk mama, papa, di beri hadiah oleh kakak. Bermanja ria, berbelanja dengan uang kakak. Tertawa bareng, main bareng. Itulah mimpiku. Yang tak pernah terjadi dan lebih terbengkalai pada akhirnya.
Tak cukup banyak waktu yang mereka sisakan khusus untuk diriku, sekalipun aku memohon pada mereka untuk membantuku dalam kesulitan belajar. Dengan sikap lantang dan kasar mereka tunjukkan. Terkadang aku bertanya “benarkah tuhan menciptakanku di tengah keluarga yang sedemikian ini. Atau ini semua hanya mimpi semata. Yang menerangkanku akan kehidupan temanku di jauh di sana?”. Jika benar ini mimpi kapan aku bisa terbangun dari mimpi ini?. Atau mungkin ini nyata. Namun kapan aku dapatkan kasih sayang dari mereka?. Mungkinkah ketika ajal mejemputku. Atau tak akan pernah bisa kurasakan selama nafasku berlalu lalang.
Kini usiaku 10 tahun. Aku masih rentan akan kehidupan yang abnormal. Belum mampu memisahkan sedetail mungkin kebenaran dan kesalahan. Masih menjunjung tinggi keegoisan semata dan masih labil akan posisi kehidupan. Aku sangatlah membutuhkan mereka yang telah lebih dulu terlahir dan merasakan semua kisah kasih dunia. Tapi tak pernah ku dapatkan cerita hidup mereka hingga kini. Kurasa mereka mengunci dengan ribuan gembok hingga tak mampu untukku mencari celah kecil di sekelilingnya.
Bulan depan ultahku yang ke 11. Harapku kukatakan pada ibu. “aku ingin ultahku di rayakan ibu. Bisakah dirimu membuatkannya untukku?” 2 minggu berlalu dengan pertanyaan yang sama di setiap malamnya. Ibu tak pernah menjawab pasti. Ia hanya berkata “hmm..”. kata itu membuat diriku ragu. Akankah ibu membuatkannya untukku atau hanya sekedar membuang kata.
Kutanyakan keraguan itu pada kakak pertamaku alesia. Usia kepala 2 menyakinkan diriku untuk menjelaskan kata “hmm..” dari ibu.
“devan.., Ibu akan membuatkannya untukmu. Mungkin dengan banyak syarat” jelasnya padaku sambil memanjakan jari jemarinya di atas piano hitam bermotif batik biru.
“banyak syarat. Apa maksud kakak?” aku masih belum paham dengan perjelasan kakak. Bersandar meja piano aku memutar otakku. Jari kiriku ikut mengetuk seirama dengan nada yang keluar dari tekanan piano kak alesia.
“kalau kamu ingin hari ultahmu di rayakan uas minggu depan nilaimu harus lebih dari sebelumnya. Itupun kalau ibu punya uang” tanpa menoleh padaku dan terus bermanja ria di atas tombol panjang putih.
Melangkah ke kamar, berfikir sedemikian rupa trik mendapatkan nilai tinggi di uas. Searching di mbah google via handphone kak tiara, kakak keduaku. Walau ku tak pernah meminta izin untuk meminjam handphonenya. Ku lakukan karena terbatasnya izinku darinya.
Baca perlahan tanpa ada kegaduhan di kamar. Sunyi dan sepi. Tiba-tiba saja handphone berdering mengagetkan diriku. Kak tiara masuk ke kamarku tanpa permisi. Merampas keras handphone yang masih meloading di internet.
“terakhir kamu pakai handphone kakak !!!” tegas kak tiara mencamkan jari telunjuknya di hadapan wajahku. Aku tak bermaksud membuatnya marah. Karena sifat kak tiara yang mudah emosi membuatku takut untuk meminta izin padanya terlebih dahulu. Fikirku ini bukan salahku seutuhnya. Tapi karena aku bungsu akulah titik permasalahnya.
Aku tak marah atau emosi kala kak tiara atau siapapun memarahi dan membentak diriku. aku memang si bungsu yang tidak tau apa-apa. Tapi di balik semua itu aku mampu untuk menjahili mereka semua. Aku tidak mengatakan diriku membalas dendam. Aku hanya ingin mendapat respon baik dari mereka. Apapun akan ku lakukan. Aku ingin mereka tau bahwa ada diriku yang hidup di dunia mereka. Bukan hanya sebagai pajangan atau pelampiasan kala mereka menjenuh dan emosi pada pekerjaan mereka masing-masing.
Tak banyak inginku. Tidak seperti kak tiara yang menginginkan handphone terbaru jika ia mendapatkan rangking pertama di uas minggu depan atau kak alesia yang menginginkan mobil mewah jika tesisnya berhasil mencapai nilai terbaik. Aku hanya inginkan kasih sayang dan perhatian dari mereka semua. Jika aku di suruh memilih benda apa yang aku inginkan jika uasku berhasil. Akan ku katakan aku tak butuh materil tapi aku sangat sangat membutuhkan imaterial. Mungkin bagi ibu dan ayah memenuhi kebutuhanku sangat sulit di bandingkan kedua kakakku yang tinggal menggesek dari bermacam kartu di dompet ibu dan ayah. Aku hanya bisa menunggu dan menunggu keinginan kecil itu dapat tercapai. Tak seutuhnyapun tak apa.
Download Sayang Terakhir Full Disini
Download Sayang Terakhir Full Disini

Tidak ada komentar:
Posting Komentar