Pembuktian Butuh Pengorbanan #4


Ketika hanya membayangkan apa yang kita inginkan, rasanya tidak ingin berhenti bermimpi dan tidak ingin bangun dari tidur. Ketika sadar sudah terbangun rasanya bingung, hampa, sedih, perasaan yang datang tidak jelas maksudnya, tidak tau arahnya, tidak tau solusinya. Rasanya muak, tapi harus bertahan. Berat ... Marah ... Menangis ...

Yang orang lain lihat hanya tampak senyum palsu, mereka bicarakan kecepatan kita dalam mengambil keputusan dan bertindak untuk menentukan jawaban.

"sudah kerja?, kerja dimana?"

Pertanyaan ini terlalu spesifik untuk aku privasikan. Rasanya sesakit itu ketika title sudah di raih tapi hasil tak ada di genggaman. Setiap saat dalam doa selalu bertanya, kapan giliranku, kapan aku tak menjadi beban dalam keluarga ini, kapan aku selesai untuk bersabar menunggu ini. Dengan pertanyaan didampingi permintaanku yang berberderet seperti struk belanja bulanan.

"Ahh ,,, mungkin caraku meminta salah, aku terlalu nafsu untuk bertanya seperti itu pada Allah, mungkin Allah inginkan aku untuk menghabiskan jatah gagal mengenai pekerjaan".

Aku rubah caraku meminta, namun tetap panjangnya seperti struk belanja bulanan. Tapi aku yakin, apapun yang aku minta, sebanyak apapun, Allah akan memberikan yang baik untukku ketika aku pantas dan di waktu yang tepat.

Jakarta, bogor bukan kota asing untuk aku bolak balik interview. Tapi Allah lagi lagi berkata lain. Alhamdulillah ... Aku kecewa saat itu. Tapi aku tidak ingin jauh. Mungkin doaku kurang tepat waktu, shalatku kurang khusyuk, kurang banyak sedekah. Saat itu aku tidak ingin bersuudzhon.  Aku nikmati prosesnya.

Orang tua bagaimana ?

Mereka tau kemanapun aku melamar, Mereka berkontribusi untuk antar anak sulung rumahan yang gk tau kota ini. Hasilnya ?. sering mengecewakan. Rasanya malu sungguh malu. Sampai aku memilih keputusanku. Melamar di tempat dimana bapak tidak pernah menyukai itu, aku merasa cukup untuk membatasi diriku untuk tidak mencoba peluang di depan mata. Aku coba sendiri, tidak menjawab pertanyaan orang tuaku saat itu yang bertanya, kemana dan dimana. Aku cuma menjawab. Ke kota sebentar.

Aku pasrah, aku serahkan semua sama Allah. Jika memang tempat ini adalah jodohku maka jangan jauhkan aku dari keberhasilan. Jika memang ini pintu rezekiku, jangan biarkan namaku tidak tercantum di daftar penerimaan.

Orang tuaku termasuk orang tua yang demokratis tapi kritis. Sampai dimana aku bisa datang di tempat yang aku harapkan dalam doa setelah melewati test, interview dan MCU. Aku masih belum berani untuk bicarakan ini dengan orang tua. Berdiam diri seperti apapun kalau Allah minta orang tua tau. Maka instinglah yang menjawab.

"kenapa ngelamar kesana?" . itu kalimat pertama yang bapak tanyakan kepadaku.
"gpp" singkat jawabku.

Selanjutnya ?..

Kita mulai beradu pendapat dan keyakinan. Apapun itu aku merasa harus mempertahankan dengan keyakinanku, ini halal dan tidak akan merusak diriku. Cukup aku yakin ini rezeki dari Allah dengan cara yang baik. Tetap bersandar untuk tidak tenggelam pada limpahan dunia dan bersenang senang dengan cara yang salah. Lambat laun waktu bisa membuat bapak menerima semuanya. Tentu dengan pembuktian, dan 1 tahun aku merasa sangat bersyukur, secepat itu Allah membolak balikan hati seorang ayah. Jujur atas penghasilan apapun yang aku dapat, berusaha meyakinkan jika aku sudah cukup dewasa untuk menentukan mana yang boleh dan tidak boleh aku terima. 

Jadi aku kerja dimana ?
Syukur alhamdulillah aku bisa ada di antara orang orang hebat di instansi milik negara. Berseragam, bermakeup, bertutur kata lembut dan indah. Dari sini aku sadar, yang terlihat buruk belum tentu tidak ada sisi baiknya, begitupun yang terlihat santun dan baik belum tentu didalamnya benar benar baik. Semua tergantung bagaimana kita memilih dan memilah apa yang akan kita fikirkan, lakukan dan terima untuk kehidupan.

Bagaimana bapak?
Beliau menerima, menikmati, bahkan sangat mendukung. Bohong kalau aku bilang aku lelah dalam pembuktian untuk bertahan. Tapi demi kehidupanku, setidaknya tidak menjadi beban dan bertahan untuk terus bermimpi diantara kritisnya karakter seorang ayah yang pada dasarnya hanya takut anaknya terjerumus di tempat yang salah.

Sekarang ?.. 
Dari pekerjaanku syukur alhamdulillah cukup ketika dibutuhkan. Aku bukan terlahir dari orang tua berada atau berjaya. Tapi karena mereka aku tau hidup bukan sekedar meminta uang jajan dan memikirkan akan hangout kemana weekend ini. Aku masih bertahan dengan pekerjaanku dari sini aku hidup dan menghidupi keluarga kecil dan besarku. 


Salam Hangat,


Tidak ada komentar:

Posting Komentar