SETITIK KEJUJURAN




Jujur dan Kejujuran. Hal tersulit yang paling mudah terucap. Tanpa sadar atau sengaja mempermainkannya, keduanya ada dalam 2 faktor. Diuntungkan atau di rugikan. Setiap orang berusaha untuk berkata dan berperilaku jujur, walau di awali dengan kemunafikkan, tak dapat di pungkiri semua kembali kepada faktor dasar. Diuntungkan atau di rugikan. Yang terbaik yang menjadi pilihan hati. Yang terujipun masalah hati. Semua berpihak pada hati dan melibatkan fikiran. 

Tidak akan banyak berkomentar tentang permasalahan atas kesaksian mereka terhadap kejujuran yang nyata. Membicarakan kejujuran diri sendiri tak kalah banyak dari mereka. 

     Kemunafikkan ...

Menjadi ujung tombak ketika hati merusuh terhadap posisi yang menjepit. Haruskah jujur atau tidak. Sering kali berpihak pada kemunafikkan, Takut menyakiti hati orang lain. Walau sebenarnya jika di fikir ribuan kali kejujuran tak lebih buruk dari kemunafikkan. Hanya saja keberanian yang tak mencapai tingkat tertinggi. Melemah pada ketakutan. Yang nyatanya rasa takut tak mampu memastikan jawaban apa yang akan terjadi setelah kejujuran itu terjadi. Pada intinya hanya berfikir negatif sebelum mencoba.


Pernah suatu ketika, hal kecil yang sebenarnya tak penting untuk di lontarkan tapi sangat penting terhadap penentuan kepribadian diri saya sendiri. 

    "saya pernah ambil sambal matang milik rekan kerja, gak banyak cuma 1 sendok makan, nikmatnya makanan ternyata gak lebih nikmat jika belum meminta izin sama yang punya. Pedasnya sambal malah kerasa pahit, fikiran negatif saya bilang, pasti karena orangnya pelit, dia gak ikhlas kalau sambalnya di makan. Bicara ikhlas atau tidak pastinya dia akan ikhlas. Kehilangan 1 sendok makan sambal tidak akan membuat selera makannya ikut hilang. Hanya saja tata krama dan sopan santun saya yang kurang baik. dan kemungkinan rasa sambal di lidah ikut terasa pahit.

Selesai makan tiba - tiba aja perasaan takut, benar benar takut yang saya rasakan. Niat saya mau bilang atas apa yang saya lakukan. Rekan kerja saya orangnya baik, hanya saja ketika mood dia sedang bad terkadang sifatnya memang menyebalkan.
Saya fikir itu hal wajar bagi semua orang. 1 Hal yang semakin membuat rasa takut itu semakin mendebar debar. Niat untuk meminta izin menyurut, tapi seseorang jauh entah di mana marah sama saya. 
    
 "jangan sekali - kali menjauh dari permasalah, Jangan rusak etika dan sopan santun yang telah orang tua kamu tanamkan di dalam diri kamu"

Lantas hilang semua keraguan untuk meminta izin. Baca Bismillah dan minta izin dengan tersenyum malu. Yang terjadi, Yang terucap dari mulut sudahlah berakhir dan bisa bernafas lega. Semua fikiran negatif hilang ketika dia bilang.

"wehh.., minta?. beli dong.. , pedeskan sambelnya?."
"iya" jawabku
"siapa dulu dong yang bikin"
"mba yang bikin?"
"woiiyaaa... enak toh?"
aku mengangguk ...

 ... "

 
Yang terbayang tak selamanya terjadi 
Rasa was was tak di pungkiri akan terasa begitu menanti. 
Semakin lama semakin menusuk hati. 
Tapi kekukuhan hati tak dapat di siasati
Begitu pasti ku yakini bukan keburukan yang akan terjadi

Lalu bicara mengenai hati. 
Seorang pujangga datang menanti.
4 hari sudah ia menanti. 
Kepastian yang tak kunjung ia temui. 

Aku jeruji ia dengan hati . 
Sakiti perasaan yang pasti. 
Dengan keegoisan pribadi

 ..."
  

 "Harus berapa lama aku menunggu?, aku mencintamu bukan untuk permainan, cinta atas nama Allah SWT. Bukan sekedar pacaran. Kurangku banyak. Gak ada harta, hanya kuli biasa. Tapi hatiku tulus untukmu"

Aku hanya membisu ...

"Tidak akan menyakiti kamu, tidak untuk mengajak kamu berfoya foya di atas dunia. Bukan untuk itu"

Aku kembali membisu ...

"Cintakah kamu padaku?"

Masih tetap membisu ...

"Apa yang kamu fikirkan?.Kamu tidak percaya denganku?. Apa?. Kenapa?.Kamu tidak cinta?. "


Masih tetap meredam jawaban

"Bicaralah, katakan ia jika memang ia, katakan tidak jika tidak, aku terima jawabanmu. Cintakah kamu sama aku?"


"Ya"

"Maukah kamu menjadi pacarku?"

"Belum "

"Mengapa?"

"Beberapa faktor tak mendukung, aku bukan yang terbaik untukmu"

 

Aku tau kamu bicara pada titik perasaan terumit. Kamu lelah menunggu, Menanti jawaban yang mudah, yang mudah merusak sebagian dari memori tentang kita.

Andai bisa ku bicara lebih jujur, faktor yang ku yakini cenderung kurang indah belum terbukti kenyataannya. Hanya saja aku terlalu pengecut untuk semua itu. Yang mampu kulakukan hanya terdiam, lalu tersenyum, dan ku pastikan itu membuat kamu berfikir aku benar benar seseorang yang amat menyebalkan yang pernah kamu kenal. 



..."
Biarlah kamu mengenalku buruk dahulu
Ketika selang di antaranya, kamu dapat memahamiku
Yang menilai hanya kamu
Kepastian semua atas jawaban
Terukir dalam hatimu
Terbaikkah aku
Atau seseorang lebih baik dariku
Terserah padamu kini
Aku tak berharap lagi

Seperti saat di mana aku dan kamu
Kita yang mengharapkan cinta

..."

Tak ada yang lebih baik selain berkata dan berperilaku jujur. Walau pahit di awal, setidaknya lengkap dengan tata krama dan sopan santun. Tak salah untuk mencoba jujur atas kesalahan, tak pernah tau apa yang akan terjadi setelah kejujuran itu, tak ada yang tau sebelum melewati kejujuran.

8 komentar:

  1. Mantep juga pembahasan yang ini.. kalau nginget orang tua, jadi segan buat meninggalkan kejujuran.. ˆ⌣ˆ

    BalasHapus
    Balasan
    1. pembahasan yang mendekati kenyataan .

      kalau begitu biar jujur mesti nginget orang tua mulu :D

      Hapus
  2. aaaaaaakk aku suka baitan baitan puisinya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. aaaaaa... aku sangat suka ketika kau goreskan semangat di postingan ini

      Hapus
  3. aduuhh... Saya kehabisan kata katanih ketika membaca tulisan di atas.. :)

    oiyah sesama anggota BSO saya ijin follow.. :)

    BalasHapus
  4. Ya jujur atas kesalahan emang bikin lega, plong, dan masalah terasa terselesaikan :D

    BalasHapus
  5. Wah ijul kata2nya menyentuh amat, kunjungan balik yah zul :)

    BalasHapus